Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus 29, 2010

kalimat baku/kalimat standar

Kalimat baku adalah kalimat standar. Dalam ragam lisan, kalimat baku dipakai dalam situasi formal, seperti dalam proses pengajaran dan pidato resmi pejabat negara. Adapun dalam ragam tulis, kalimat baku dipakai dalam tulisan ilmiah atau bentuk lainnya yang mensyaratkan keteraturan kalimat yang ketat. Kalimat baku tidaklah sesulit yang dibayangkan sebab kalimat baku bukanlah konstruksi kalimat yang panjang-panjang, tetapi dapat berupa kalimat pendek yang sederhana. Misalnya: Ayah pergi. Kakak belajar tadi. Kedua kalimat di atas adalah kalimat baku. Betul memang, ada syarat untuk memasukkan sebuah kalimat ke dalam kalimat baku. Syarat pertama, kalimat baku mengandung kata-kata baku. Kata baku dapat dilihat pada Kamus Besar Bahasa Indnesia. Hanya saja, kamus besar yang dilihat harus edisi terbaru. Sebab bisa jadi, sebuah kata pada kamus terdahulu baku, tetapi pada kamus terbaru sudah tidak lagi, terutama pada kata turunan (kata berimbuhan)

Ahli-ahli Tata Bahasa

Ilmu yang mengkaji tentang kalimat kita kenal sebagai sintaksis. Sudah banyak ahli bahasa yang mengkaji bahasa Indonesia dari sisi sintaksisnya, sehingga muncul berbagai buku tata bahasa baik yang lengkap maupun yang sekadar mengkaji dari sisi sintaksis saja. Mereka yang membuat kajian tentang tata bahasa Indonesia, misalnya, Abdullah Ambari, Verhaar, Sutan Takdir Alisyahbana, J.S. Badudu, Gorys Keraf, Abdul Chaer, dan tim pusat bahasa yang menyusun buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Adapun yang menulis dari sisi sintaksisnya, seperti Ramlan, J.D. Parera, dan Henry Guntur Tarigan.Itu sekadar menyebut beberapa nama.Di luar nama-nama tersebut msih banyak. Abdullah Ambary dulu buku-bukunya sangat berpengaruh dan dibaca luas guru-guru yang mengajar di SMP, sedangkan Gorys Keraf bukunya berpengaruh pada guru-guru yang mengajar di SMA. Pengaruh Henry Guntur Tarigan, yang menjadi guru besar di IKIP Bandung, terasa di guru-guru bahasa Indonesia yang lulusan IKIP Bandung, sedangkan pengaru

JONO BUBUT

Sebagai yang mudaan, saya memanggilnya Kang Jono. Tapi, ia sendiri lebih suka dipanggil JB, alias Jono Bubut. Tapi, sejak ia naek haji beberapa tahun lalu, tampaknya ia lebih senang dipanggil Haji JB, atau haji aja tidak perlu pake JB. Kang Jono adalah contoh seorang pengusaha sukses yang secara pendidikan formal hanya tamat SD. Benar, ia hanya punya ijazah SD, sebab waktu dia lulus SD, ayahnya meninggal. Jadilah dia kehilangan orang yang akan membiayainya sekolah. Untuk bertahan hidup, akhirnya ia terdampar di sebuah bengkel bubut milik Koh Tatang. Sebab kerjanya rajin, ulet, rapih, teliti,dan ramah, Jono disenangi para pelanggan bengkel bubut tersebut. Apalagi Koh tatang begitu percaya terhadap kerjanya. Begitulah, ketika saya lulus SMP, Kang Jono sudah kerja di bengkel itu selama 5 tahun. Saat Koh Tatang memutuskan untuk memindahkan bengkelnya ke keluar kota, Kang Jono sebenarnya mau ikut, tapi mengingat ibunya yang sudah tua, dia memutuskan untuk tetap tinggal di kampungku. Berunt

S*****t sedang terjadi; apakah Anda siap?

Judul di atas saya ambil dari satu bab buku The Tomorrow People, karangan Martin Raymond. Keseluruhan isi buku itu menarik, terutama bagi mereka yang bekerja dalam bidang pemasaran, tapi juga akan sangat menarik bagi mereka yang merasakan adanya sesuatu ancaman terhadap kelangsungan lembaganya, entah di bagian mana pun dia bekerja. Booming teknologi informasi dewasa ini telah mengubah gaya hidup kita. Coba dalam sekali waktu Anda amati orang-orang di sekitar kita, handphone mulai dari yang sederhana hingga paling canggih tidak lagi sekadar sebuah asesori tetapi sudah menjadi kebutuhan mutlak melebihi kebutuhan kita akan nasi. Laptop menjadi bagian tak terpisahkan dari backpack sebagian pekerja kantoran. Tanpa laptop mereka seperti kehilangan azimat yang paling sakti. Perubahan-perubahan seperti ini sering tidak terespons dengan baik oleh para pengambil keputusan meskipun mereka sendiri secara sadar telah menjadi bagian gaya hidup seperti itu.