Postingan

Menampilkan postingan dari Maret 1, 2009

PS ORAY WELING

Di depan rumah Mang Kanta terpasang sebuah bendera. Sudah dekil, entah sudah berapa lama bendera itu terpasang di sana. Kalau ada angin, bendera itu sedikit berkibar dan meskipun agak sulit akan terbaca tulisan: PS ORAY WELING. Huruf PS itu sejatinya singkatan dari Persatuan Sepakbola atau Football Club atau kesebelasan. Kampungku, sebagai bagian dari komunitas pencinta sepakbola dunia, memiliki PS, namanya Oray Weling. Kelompok kata itu diambil dari bahasa Sunda, bahasa yang dipakai oleh penduduk kampungku. Oray Weling adalah ular cobra. Ya, di kampungku, ular cobra disebut oray weling. Entah siapa yang memberi nama PS itu. Tetapi, yang jelas di bendera PS Oray Weling ada gambar ular cobra yang sedang siap-siap menyerang lawannya. Semua orang di situ tahu bahwa yang membuat bendera itu adalah Mang Kanta, jago gambar di tempatku. Aku sendiri pernah melihatnya menggambar bendera, pakai kuas kecil dan cat minyak. Mang Kanta tidak menyablonnya. Mungkin juga ia tidak tahu teknik sablon, a

Journey to Marunda Beach

Satu-dua bintang di atas kepala kami. Jalan tak terasa: berdebu atau berbatu? Pekat sekitar kami. Sorot lampu motor ke depan. Sibakkan gelap, terobos kehampaan. Erat kau peluk diriku, dan sebuah lagu kau nyanyikan mesra. Hatiku meluap gembira. Di suatu tempat, aku hentikan motorku. Hanya ada aku dan dia. “Gerhana di langit. Bulan dipangut matahari ataukah matahari dipangut bulan? Sunyi meliputi. Angin melirih.” Melaju lagi kami. Ke arah lain, bukan jalan yang kami kenali. Kami balik arah. Tak tahu berapa waktu yang terpakai. Cuma terasa sedikit. Akhirnya tiba di sebuah rumah. “Kembali kami tersesat jalan ke pantai marunda!” ----rawamangun 100608

Cilember Waterfall

“Pagi, Cilember,” sapaku Pada air terjun itu saat aku kembali ke sana. Batang-batang pohon, daun-daun, dan gemuruh air Banyak yang tak mengenaliku lagi. Tak ada pahatan nama pada batang pohon atau batu Sekadar jejak pada ingatanku Tentang Cilember yang cantik memesona. “wah, lama tak bertemu,” jawab Cilember, “apa kabarmu? Makin gemuk saja engkau. Lihatlah diriku! Kian kotor dan tak sakral lagi. Pelangi telah jarang menaungiku Hingga bidadari tak mau lagi mandi di sini.”

Ma Kupoh Temple

Sekarang Aku tak berdiri di depan kuil itu, Tidak juga di dekatnya atau di selilingnya. Cuma pikiranku yang mengembara ke sana, Menapaki lantainya dan membaui hio yang terbakar. [seharusnya kau ada di sini Berada di sampingku, hingga tercium bau rambutmu, Dan kurasai halusnya kulitmu. “Masih kau tanam melati di pekarang rumah mamamu?” tanyamu. Seperti biasa, aku tak mampu menjawab, Hanya ku kecup jari tanganmu] Lalu Kuhampiri tiang besar dengan cat merah yang berdiri kokoh. Gambar liong yang melingkar tak menarik perhatianku. Pun altar di depan sana tak sanggup menggodaku. Pada sebuah lantai yang pecah kutemukan sebuah tulisan: “Tak pernah lelah aku menantimu, Tapi maut tak mau memberi waktu lagi.” [seharusnya kau di sini, Melahirkan anak-anak kita, yang lucu-lucu, cantik-cantik, dan tampan-tampan. Pagi ini--ketika anak-anak kita masih tertidur— Kau bertanya padaku, “Masihkah kau ingin anak yang cantik atau tampan?” Seperti biasa, aku tak mampu menjawab Hanya raga dan rasaku berguncang

Padamu Bunda: Sebuah Himne

Bundaku, ingin kutanyakan padamu, telah aku warisi kecantikan wajahmu, tapi bisakah aku miliki kecantikan hatimu? Lelah, tentu saja kau rasakan, ketika kau asuh diriku. Namun, aku tidak pernah mendengar keluh kesahmu. Padaku selalu kau berikan senyum termanis, padahal aku telah nakal meretakkan hatimu. [“Ibu, kapan kau tidur?” tanyaku. “Sebentar lagi, Nak, setelah jahitan ini selesai,” jawabmu sambil kau selimuti diriku, di suatu malam ketika bulan membiru kedinginan.] Bapakku, aku tahu kau selalu berusaha menaklukkan waktu. Sedikit waktumu istirahat, gurat lelah pada wajahmu sulit dihitung. Namun, kau selalu saja pulang dengan membawa senyum sehangat dan senyaman matahari pagi hingga kami di rumah kembali cerah bagai kupu-kupu yang berlarian pada bunga. [“Bapak, kapan akan tidur?” tanyaku. “Sebentar lagi, Nak, setelah jahitan ibumu selesai ” Jawabmu sambil kau elus kepalaku, di suatu malam ketika bintang-bintang tercemari awan.] Mamaku, lihatlah! Telah aku selesaikan apa yang kuharapk