PS ORAY WELING

Di depan rumah Mang Kanta terpasang sebuah bendera. Sudah dekil, entah sudah berapa lama bendera itu terpasang di sana. Kalau ada angin, bendera itu sedikit berkibar dan meskipun agak sulit akan terbaca tulisan: PS ORAY WELING. Huruf PS itu sejatinya singkatan dari Persatuan Sepakbola atau Football Club atau kesebelasan. Kampungku, sebagai bagian dari komunitas pencinta sepakbola dunia, memiliki PS, namanya Oray Weling. Kelompok kata itu diambil dari bahasa Sunda, bahasa yang dipakai oleh penduduk kampungku. Oray Weling adalah ular cobra. Ya, di kampungku, ular cobra disebut oray weling. Entah siapa yang memberi nama PS itu. Tetapi, yang jelas di bendera PS Oray Weling ada gambar ular cobra yang sedang siap-siap menyerang lawannya. Semua orang di situ tahu bahwa yang membuat bendera itu adalah Mang Kanta, jago gambar di tempatku. Aku sendiri pernah melihatnya menggambar bendera, pakai kuas kecil dan cat minyak. Mang Kanta tidak menyablonnya. Mungkin juga ia tidak tahu teknik sablon, atau juga ia memang sangat menikmati menggambar bendera itu. Konon, agar memiliki kekuatan gaib dan PS-nya jadi menang terus, bendera itu digambar sambil berpuasa.
Jangan tanya siapa pengurus PS Oray Weling. Setahuku PS Oray Weling tidak ada pengurusnya. Kalau ada orang yang terlihat seperti pengurus, sebenarnya ia tidak ditunjuk atau dipilih untuk menjadi pengurus, tetapi kebetulan saja ia mau mengurus-ngurus soal keperluan PS Oray Weling. Tidak banyak kok keperluan PS Oray Weling. Paling-paling menyiapkan segentong es sirup saat PS Oray Weling bertanding. Jadi, PS ini benar-benar hanya sebuah kelompok orang yang memiliki hobi bermain sepakbola. Tidak ada manajemen, dan lain-lain. Masih beruntung mereka punya kaus seragam untuk bertanding meskipun itu disebut seragam sebab warnanya sama! Nomor punggung dibikin sendiri, pakai cat minyak. Buat celana tidak ada seragam. Yang penting pakai celana kolor sepakbola, silakan warnanya apa saja boleh. Ya, begitulah setiap mereka bertanding celana pemain PS Oray Weling warna-warni, meriah sekali seperti balon ulang tahun yang sudah ditiup dan dipasang di langit-langit.
Bagaimana dengan sepatu? Ah, tidaaak! Itu pantangan. Pemain PS Oray Weling tidak ada yang memakai sepatu sepakbola saat bertanding. Di mana pun bertanding mereka tidak ada yang memakai sepatu bola. Semuanya nyeker! Tidak perduli lawannya bersepatu. Sebenarnya, sepatu sepakbola bagi pemain PS Oray Weling itu barang mewah yang sangat mahal. Mana mungkin mereka membeli sepatu bola, sedangkan untuk celana kolor saja tidak terbeli. Ya, itu untungnya celana kolor, setiap orang pasti punya, coba sepatu? Di kampungku tidak ada seorang pun yang memiliki sepatu sepakbola. Tanpa sepatu, tokh, masih bisa menendang dan menyepak bola. Coba bayangkan kalau tanpa kolor, pasti pemain tidak ada yang bergerak, tidak ada yang mau berlari. Diam berdiri mematung dengan tangan menggenggam kelamin masing-masing.
Menunggu PS Oray Weling bertanding itu lamanya tidak terperikan. Lamaaa sekaliii. Sebab untuk mendatangkan PS lain bertanding di kampungku, menunggu panen dulu. Setelah panen, biasanya ada juragan-juragan baru yang siap dana untuk mendatangkan PS dari kampung lain atau dari luar kecamatan, malahan bisa-bisa dari luar kabupaten. Setahun paling-paling cuma ada enam pertandingan. Tapi, hampir setiap hari minggu pemain-pemain PS Oray Weling berlatih. Mereka biasanya berlatih di lapangan Katalaya.
Dua minggu yang lalu sudah panen di kampungku. Tanda-tanda PS Oray Weling akan bertanding sudah terlihat. Bendera PS Oray Weling sudah dipasang di bademan (pintu air) irigasi berdampingan dengan bendera PS lain. Sudah seminggu bendera itu dipasang. Dan, orang-orang sudah membicarakan calon lawan PS Oray Weling. Desas-desus yang terdengar, misalnya, PS itu diperkuat mantan pemain nasional yang mendapat istri di kampung tersebut. Banyak yang pesimis PS Oray Weling bisa menang. Kalaupun kalah, mudah-mudahan tidak lebih dari 2-0, begitu harapan mereka.
Awalnya aku pun pesimis terpengaruh desas-desus itu. Namun, tadi pagi aku bertemu dengan Kang Suta. Saat melihat Kang Suta sedang memikul air, aku menjadi optimis PS Oray Weling tidak akan kalah, paling-paling pertandingan akan berakhir seri 0-0.
“Kang, sehat?” tanyaku ketika berpapasan dengan Kang Suta di jalan. Ia terlihat cukup kuat meskipun menahan beban di pundaknya.
“Sehat.” Jawabnya, tanpa berhenti memikul air. Jalannya dibuat seperti berlari-lari kecil agar cepat sampai tujuan. Aku berbalik arah, mengikuti Kang Suta. Terpaksa aku pun berlari-lari kecil mengikutinya. Aku ingin menanyakan apakah dia akan main atau tidak nanti sore.
“Main tidak nanti sore, Kang?”
“Main.”
“Benar, Kang?”
“Benar. Aku kan dalam kondisi sehat. Memangnya mengapa?” Ia berhenti sebentar melirikku. Pikulannya dipindah dari pundak kanan ke pundak sebelah kiri. Lalu, ia berjalan kembali.
“Ah, kalau Akang tidak main, kita pasti kalah. Pasti kebobolan banyak. Penyerangnya hebat, Kang. Mantan pemain nasional, kata orang-orang sih.”
“Itu juga yang membuatku ingin bermain. Ingin tahu bisa tidak pemain nasional menjebol gawangku.”
“Ya, sudah, ya, Kang. Hati-hati licin jalannya, Kang!”
Aku senang sekali kalau Kang Suta mau main. Kang Suta itu kiper PS Oray Weling. Orang-orang di kampungku menganggap Kang Suta bagaikan Roni Paslah kiper nasional kita saat itu. Ia bagaikan laba-laba di bawah mistar gawang. Tidak mungkin bola melewati gawang itu, kalau dia sendiri tidak membiarkan bola melewatinya. Tangannya lengket bagaikan lem aica aibon yang bagi kami merupakan lem yang sangat kuat melekatnya. Kang Suta tak segan bergulingan menangkap bola datar tendangan keras yang menyusur tanah. Sekali lagi, tak pernah ada bola yang mampu menjebol gawang Kang Suta, kalau kang Suta tidak membiarkan bola itu. Begitu mitos, orang-orang kampungku tentang Kang Suta. Tetapi Kang Suta juga punya kelemahan sebagai kiper.
Selain Kang Suta, keoptimisanku juga disebabkan faktor Ki Ijot. Rumah Ki Ijot disamping rumahku. Ki Ijot yang katanya sudah seminggu sakit hari itu sudah kelihatan duduk di depan rumahnya. Seperti biasa, nyisig. Nyisig itu membersihkan gigi ketika sedang makan sirih pakai tembakau. Pernah temanku, Ujem, dikerjai cucunya Ki Ijot, Dadang. Saat kami sedang bermain ke rumah Ki Ijot, Ujem menemukan sisig di atas meja. Ia tidak tahu kalau itu sisig bekas dipakai Ki Ijot. Ketika ia bertanya kepada Dadang, Dadang malahan melihat kesempatan untuk mengisengi Ujem. Dikatakannya bahwa benda itu sejenis coklat yang bisa membuat orang kebal senjata kalau sanggup mengunyah selama lima menit dan menelannya. Rupanya Ujem mempercayai kata-kata Dadang. Ia pun memasukkan sisig itu ke dalam mulutnya. Mengunyahnya. Kami yang menyaksikan kejadian itu tegang. Beberapa ada yang menutup muka, tapi kebanyakan tersenyum-senyum geli menahan tertawa. Terlihat Ujem yang mengunyah sisig itu beberapa saat kemudian wajahnya memerah. Keningnya berkeringat. Matanya mengerjap-ngerjap. Ia seperti menahan sesuatu yang akan terlontar keluar. Sesaat mulutnya berhenti mengunyah. Yang melihat makin tegang. Diam. Lalu, setelah hampir satu menit, Ujem pun berteriak keras, “Ooooooo!” Ia pun muntah. Kami berhamburan, kabur menyelamatkan diri dari cipratan muntahan Ujem! Yang tidak sempat kabur terkena muntahannya.
Siang tadi, bada salat lohor, aku bertemu dengan Dadang. Jangan tanyakan apakah dia salat atau tidak, pastinya dia tidak pernah tergoda untuk salat meskipun semua teman-temannya salat. Dia memang teguh pendiriannya. Banyaklah alasannya. Desas-desus temanku, Dadang tidak salat sebab dia belum disunat. Ah, masak sih? Dadang sudah kelas IV kok. Tapi, waktu aku mencoba mengingat-ngingat kapan Dadang disunat, aku sama sekali tak bisa mengingatnya. Jangan-jangan dia memang belum disunat.
“Dang, apa kata Ki Ijot?” tanyaku, sementara aku mencoba membetulkan dulu letak kakiku pada sendal jepit cap swallow, ketika terlihat dia berjalan di depan mesjid. Jari telunjukku tadi yang menjepit sendal jepitku. Semestinya kan jempol.
“Apa?” Dadang bingung. Tapi, langkahnya berhenti juga, menungguku yang berusaha mendekatinya.
“Soal pertandingan bola nanti sore.”
“Belum. Aki belum ngitung-ngitung. Tunggu diminta Mang Kanta.” Mang Kanta paling sibuk kalau PS Oray Weling bertanding. Selain menyiapkan keperluan pemain, Mang Kanta pun bertindak sebagai pelatih. Mungkin jabatan Mang Kanta itu mirip dengan posisi manajer di klub-klub sepakbola Inggris.
“Tapi, aki sehat kan?” Hampir saja aku lupa menanyakan kondisi kesehatan Ki Ijot.
“Sehat. Malah aku disuruh beli daun sirih. Katanya, kangen sudah seminggu tidak nyirih.”
Aku pun berpisah dengan Dadang. Aku bergegas pulang ke rumah, sedangkan Dadang pergi ke warung mau membeli daun sirih buat Ki Ijot. Ki Ijot dulu menjadi wakil. Di tempatku jabatan wakil itu setara dengan kepala kampung. Sekarang Ki Ijot sudah pensiun, digantikan anaknya. Ki Ijot bagi pecinta PS Oray Weling dianggap sebagai penasihat spritual. Tempat PS Oray Weling bertanya tentang arah. Arah angin yang bisa memberikan keberuntungan. Nah, untuk urusan itulah perlu hadir tokoh penting, seperti Ki Ijot. Konon Ki Ijot bisa menunjukkan tiang gawang yang berada di arah mana yang bisa memberikan keberuntungan. Tiang gawang yang sulit dijebol penyerang lawannya. Umumnya tiang gawang ada dua dan arahnya saling berhadap-hadapan: utara-selatan atau barat-timur. Dengan menghitung-hitung hari baik dan waktu atau jam baik berdasarkan pengetahuan yang didapatnya, Ki Ijot akan menunjukkan tiang gawang sebelah mana yang harus dipilih terlebih dahulu. Kalau Ki Ijot bilang utara, berarti kesebelasan itu harus memilih pada babak pertama berada di sebelah utara, sedangkan lawannya berada di sebelah selatan. Artinya juga, pada saat akan dilaksanakannya babak pertama pertandingan itu, keberuntungan berada di sebelah utara, baru nanti setelah empat puluh lima menit, keberuntungan akan bergeser ke sebelah selatan.
Lapangan di tempatku gawangnya berada di utara-selatan. Ki Ijot sudah tahu. Tapi, kalau PS Oray Weling mau bertanding ke luar kampung, atau ke luar kecamatan, Ki Ijot akan wanti-wanti agar pengurus PS Oray Weling mencari tahu tiang gawangnya berada di sebelah mana dan kapan waktu pertandingan akan dimulai.
Sesampai di rumah, Damis sudah menungguku. Dia sudah tidur-tiduran di lantai kamarku. Rupanya dia tadi salat di rumahku, sajadah bekas dia solat dipakai alas untuk tidur-tiduran. “Nanti sore mau nonton tidak?” tanyanya saat dia mengetahui aku masuk ke dalam kamar.
“Nonton.” Sambil menjawab, aku merebahkan badanku di tempat tidurku, sebuah ranjang nomor dua, yang sudah dilepas kelambunya. Aku sengaja melepas kelambunya, sebab dengan ada kelambunya, kesannya seperti tempat tidur anak bayi.
Kamarku memang sering dijadikan markas oleh teman-temanku. Mungkin sebab karakter keluargaku, yang senang kalau rumah kami dijadikan tempat berkumpul. Hanya ada satu poster di dinding kamarku itu. Poster seorang anak kecil gendut lucu dan di bawah gambar anak itu ada tulisan: No Problem. Di kamarku juga ada radio tape stereo, yang waktu itu merupakan barang langka di kampungku. Tapi, tape-nya jarang kupakai, aku lebih sering putar radionya. Kalau subuh, dengerin ustadz kondang dari Jakarta, dari Dinas Bintal Angkatan Darat, K.H. Kosim Nurseha. Malam minggu radio itu aku pakai untuk mendengarkan siaran wayang golek semalam suntuk. Lumayan juga buat hiburan.
“Mau jalan kaki? Apa naik sepeda?” tanya Damis. Ia tetap berbaring.
“Jalan kaki. Nanti berangkat setelah salat ashar.”
“Kita berdua saja?”
“Mau ngajak siapa lagi?”
“Berdua saja juga tidak apa-apa kan? Nanti yang jalan ke lapangan kan banyak dari sini.”
“Dadang diajak tidak?”
“Dadang kan biasanya bawa sepeda ke lapangan. Aku mau tidur dulu sebentar, ya.” Baru beberapa saat aku mencoba konsentrasi untuk tidur, Damis malah bertanya lagi.
“Kita menang-tidak, ya?”
“Ehmmm.” Aku hanya bergumam.
“Berapa skornya?”
“Ehhhmmmm.” Sekali lagi aku hanya bergumam. Lebih panjang. Aku membalikkan badanku, menghadap arah membelakangi Damis. Bantal yang setiap malam aku lukis gambar-gambar pulau, aku tarik dan aku pakai menutup telingaku.
“In. In!” terdengar sayup-sayup Damis memanggil namaku saat pertanyaannya tak kujawab-jawab. Tak lama kemudian aku pun terlelap.
(*)
Pukul dua lewat lima menit aku terbangun. Basah tubuhku oleh keringat. Maklum sedang musim kemarau, siang-siang begini tidur bisa dipastikan mandi keringat. Aku lihat Damis masih tertidur di atas sajadah, mulutnya menganga seperti mulut ikan peda goreng. Aku duduk di pinggir ranjangku dan aku tendang-tendang pantatnya. “Mis! Mis! Bangun! Sudah jam dua lewat nih.”
Sebentar kemudian aku lihat dia menguap. Lalu, dia menggeliat. “Yaaaaaahhkkkk” Suaranya terdengar. Badannya direntangkannya dan tangannya dibuka lebar-lebar. “Krekkk! Krrekk!” terdengar bunyi tulangnya. Damis mengucek-ngucek matanya. “Jam berapa?” tanyanya.
“Jam dua lewat. Coba dengar, di rumah Ki Ijot sudah ramai,” kataku. Telingaku ku pasang saat ada suara-suara terdengar di samping rumahku. Rupanya sudah banyak orang yang ingin tahu apa rekomendasi Ki Ijot untuk PS Oray Weling. Aku bergegas bangun. Agak berlari, aku pergi ke kamar mandi, cuci muka sebentar, terus balik lagi ke depan. Di pintu tengah hampir bertabrakan dengan Damis, yang juga tergesa-gesa pergi ke kamar mandi.
Saat aku berada di halaman rumahku, aku melihat di rumah Ki Ijot sudah banyak orang. Terutama anak-anak seumuran denganku. Tampak Dadang sedang sibuk, atau sebenarnya menurutku, dia berlagak sibuk. Aku yakin bahwa dia saat itu merasa menjadi orang penting. Aku menghampirinya. Tak lama Damis sudah ada di sampingku. Mukanya masih basah dengan air, rupanya dia belum mengelap mukanya. Ujung rambutnya yang menyentuh dahinya masih sangat basah, air bekas cuci mukanya masih mengucur dari sana.
“Apa kata Ki Ijot, Dang?” Damis langsung bertanya saat sampai di depan Dadang.
“Belum tahu. Ki Ijot sedang ngitung-ngitung di dalam bareng Mang Kanta.”
“Mereka sudah lama di dalam.”
“Baru lima menitan. Tapi, biasanya tidak lama, paling lama hanya lima belas menit.” Terang Dadang sambil duduk di atas sepedanya. Sebentar kemudian diturun lagi, sepedanya disandarkan di pohon. Diceknya ban sepeda itu, yang belakang kurang angin sedikit. “ Mau pakai apa ke lapangan?” tanyanya sambil melihatku.
“Jalan kaki,” jawabku, “bareng anak-anak kulon.”
Di dalam rumah Mang Kanta sedang duduk berdepan-depan dengan Ki Ijot. Orang tua itu beberapa kali bertanya kepada Mang Kanta, setiap jawaban yang diberikan oleh Mang Kanta benar-benar disimaknya. Kemudian, terlihat Ki Ijot menggerak-gerakkan jari-jari tangannya seperti orang yang sedang menghitung. Ada yang dilipat dan ada yang terbuka jari-jarinya Ki Ijot itu. Beberapa kali Ki Ijot memejamkan mata. Setelah limat menit, diawali dengan menarik napas panjang, dengan yakin dia berkata, “Kidul.”
Mang Kanta tersenyum. Sambil bangkit dari kurdinya, ia pun mengucapkan terima kasih kepada Ki Ijot. Terakhir ia bersalaman dengan Ki Ijot, tampak saat salaman ia menggenggam amplop, terdengar katanya, “Buat beli sirih dan tembakau, Ki.” Lalu, dia pun keluar rumah.
“Tuh, lihat Mang Kanta sudah keluar!” Dadang menunjuk ke arah pintu rumahnya. Orang-orang di depan pintu menyingkir, lalu mengerubungi Mang Kanta, sambil bertanya. “Sebelah mana, Mang?”
“Selatan,” jawab Mang Kanta. Ia berjalan santai saja. Seperti menikmati, betapa penting dirinya dalam suasana seperti itu.
Aku pun mendengar jawaban Mang Kanta, tapi bagiku itu bukan hal penting, yang pen ting adalah keluarnya Mang Kanta berarti sudah saatnya untuk pergi ke lapangan. “Mis, jemput si Engkur! Mau ikut tidak ke lapangan. Katakan kita akan berangkat sekarang.” Perintahku pada Damis.
Damis tidak menjawabku, ia langsung berlari ke arah rumah Engkur. Tak lama dia sudah kembali diiringi Engkur. Rupanya Engkur sudah siap-siap, tapi belum punya teman untuk berangkat bareng. Ia gembira sekali dijemput Damis apalagi ketika diberi tahu aku yang mengajaknya, ia senang sekali.
“Ayo, kita berangkat!” teriak Engkur begitu sampai di depanku.
“Ayo!” kataku, “kita lewat jalan dalam saja, ya. Tidak panas.” Kami berjalan bertiga. Mungkin beberapa saat lagi kami akan mendapat teman, yang juga bergerombol mau pergi ke lapangan.
Jalan dalam adalah istilah kami untuk jalan memotong. Lebih banyak pohon-pohon sehingga tidak panas. Lewat jalan dalam juga memungkinkan kami lebih cepat sampai ke lapangan, dan tentu saja lebih menghemat tenaga. Pohon-pohon jambu yang banyak ditanam di pekarangan-pekarangan rumah dengan kerindangan daunnya menyebabkan terik matahari terhalang menghanguskan kami. Senda-gurau sepanjang jalan, terasa meringankan perjalanan kami. Beberapa kali ibu-ibu yang rumahnya terlewati menegur kami, sekadar basa-basi, tapi itulah bukti keramahtamahan yang menjadi khas bangsa kita. Di depan dan belakang kami sudah banyak kelompok-kelompok pejalan kaki yang akan pergi ke lapangan Katalaya. Menonton PS Oray Weling bertanding melawan PS Tunas Muda.
Tanpa kami sadari, sepanjang jalan yang kami lalui, banyak pohon jambu sudah akan berbunga. Dan bila saat itu tiba, sebuah keceriaan dengan permainan seru menanti kami.
(**)

Lapangan Katalaya hanyalah sebuah tanah lapang yang sangat luas. Selain Lapangan Bojong Tugu, mungkin hanya lapangan ini yang biasa dipakai untuk pertandingan sepakbola. Tapi, dibandingkan lapangan Bojong Tugu, lapangan ini masih kalah pamor. Sejak kemarin lapangan itu dibenahi. Garis pinggir, garis tengah, dan garis kotak penalti ditaburi bubuk kapur mentah agar jelas batas-batasnya itu. Tiang gawang nyaris tidak pernah diperbaiki, dari dulu tiang gawang itu tidak pernah diganti, bahannya dari kayu yang sangat kuat. Tiang gawang itu tidak berjaring. Nanti penonton mengelilingi lapangan itu tepat di atas garis putih pinggir lapangan. Anak-anak duduk atau berjongkok sedangkan orang tua berdiri di belakang anak-anak itu. Dan, pastinya semua tepi lapangan akan terisi, bahkan jangan heran kalau ada penonton yang berdiri atau duduk-duduk persis di bawah tiang gawang. Pernah suatu ketika ada penonton yang pingsan terkena bola yang masuk gawang, ditendang dengan sekeras-kerasnya oleh pemain lawan. Dia tidak sempat menghindar sebab begitu cepat proses tendangan itu. Setiap pertandingan di sini tidak pernah ada hakim garisnya. Tidak perlu. Hakim garisnya, ya, penonton itulah. Wasit harus jeli matanya dalam memimpin pertandingan, sebab dia bekerja seorang diri.
Saat kami sampai di sana, sudah sebagian pinggir lapangan yang dipenuhi penonton. Anak-anak kecil sudah duduk-duduk bersila di pinggir garis. Tapi, banyak juga penonton yang mencari jajanan terlebih dahulu. Sebuah truk di sisi lapangan dikerubungi orang-orang. Truk itu yang mengangkut pemain dan pengurus PS Tunas Jaya. PS Tunas Jaya dari kecamatan tetangga, sekitar lima belas kilometer. Di samping truk itu, para pemain PS Tunas Jaya sedang berganti pakaian. Mereka sedang memakai kaos seragam, kaos kaki, sepatu, dan, pernak-pernik lainnya.
Berbeda dengan PS Tunas Jaya yang hampir sudah siap, pemain PS Oray Weling belum lengkap. Pemain PS Oray Weling datang ke lapangan satu per satu. Ada yang berjalan kaki dan ada yang diboncengi naik motor, atau berboncengan naik motor, atau naik sepeda. Pokoknya, sebisa-bisanya merekalah bagaimanapun caranya harus sampai ke lapangan. Mereka datang dengan kaos seragam yang sudah dipakai. Dengan celana kolor warna apa saja, yang penting pakai celana kolor. Tak ada yang membawa sepatu sepakbola, seperti biasa mereka akan nyeker melawan lawannya yang bersepatu. Itu bukan masalah bagi pemain PS Oray Weling. Meskipun kalau terinjak sepatu pemain lawan, mereka akan berteriak sekeras-kerasnya. Tentu saja mereka kesakitan, tapi anehnya tidak pernah ada yang mau digantikan dengan pemain lain.
Tiba-tiba terdengar teriakan anak-anak mengelu-ngelukan nama seseorang. Makin lama makin terdengar jelas, yang dielu-elukan itu nama Kang Suta. “Hidup Kang Suta! Hidup Kang Suta!” Begitu kata-kata yang terdengar. Kemudian terdengar orang-orang bertepuk tangan seolah-olah menyambut pahlawan mereka. Kang Suta sendiri hanya tersenyum-senyum saja, sesekali bersalaman dengan orang yang mengajaknya bersalaman. Dia memakai kaos hijau berlangan panjang. Saat itu, kaos lengan panjang identik dengan kiper. Tidak bersepatu. Di dengkul kakinya dipasang kaos kaki yang sudah dipotong bagian bawahnya. Kaos kaki itu melingkari dengkulnya. Fungsinya agar dengkul itu tidak lecet kalau dia terpaksa harus menubruk bola yang menggelinding deras ke arah gawangnya.
“Asyik, Kang Suta main!” Engkur tiba-tiba berteriak, lalu berjingkrak-jingkrak kegirangan.
“Aku sudah tahu dari tadi.” Kataku datar.
“Kira-kira kita menang tidak, ya?” Damis cemas.
“Menaglah!” sahut Engkur setengah berteriak.
“Mereka diperkuat mantan pemain nasional.” Imbuh Damis .
“Tidak apa-apa. Kang Suta main. Pasti tidak akan kebobolan kita.” Engkur tetap yakin atas kehadiran idolanya itu.
“Mudah-mudahan saja…” kata Damis tanpa menyelesaikan kata-katanya.
“Mudah-mudahan apa?” tanyaku penasaran.
“Tidak kebobolan banyak.”
“Mestinya mudah-mudahan menang. Jangan pesimis begitu. Ayo, kita cari tempat. Sebelah sana belum banyak orangnya itu.” Aku menarik tangan Damis. Engkur sudah melambai-lambaikan tangannya, rupanya ia sudah menemukan tempat menonton yang cocok buat kami. Betul saja tempat itu masih kosong, anak-anaknya baru kami bertiga. Kami duduk berbaris. Tak lama kemudian tanpa terasa di belakang kami sudah berdiri orang-orang dewasa. Makin lama makin terasa sesak. Tapi, kami menikmati situasi itu dengan senang hati. Pukul tiga kurang sepuluh menit lapangan sudah dikelilingi penonton. Bau keringat penonton sudah tercium olehku. Matahari memang sudah condong ke barat, tapi tetap saja membuat orang-orang berkeringat. Aku lupa membawa topi untuk menjaga teriknya matahari tidak membakar mukaku.
Tak lama kemudian pemain kedua kesebelasan sudah memasuki lapangan. PS Oray Weling hanya kausnya yang seragam berwarna merah, sedangkan warna celana kolornya bermacam-macam, tidak seragam dan terkesan norak. Tidak bersepatu. Tapi, ada empat orang yang memakai kaus kaki. Itu pun sebelah saja. Konon agar tidak sakit kalau menendang bola. Sedangkan PS Tunas Muda berseragam sejak kaus, celana, kaus kaki, dan sepatu. Semuanya berwarna biru.
Penonton bertepuk tangan riuh-rendah. Bergembira sebentar lagi pertandingan akan dimulai. Di tengah lapangan ada pemandangan yang berbeda. Seorang pemain PS Tunas Muda ternyata memiliki postur tubuh yang berbeda dengan pemain-pemain lainnya. Pemain itu badannya tinggi besar, berkulit hitam, dan rambutnya keriting. Tipikal saudara kita dari Papua. Beberapa penonton mengenalinya sebagai mantan pemain nasional. Tapi, aku sendiri tidak begitu jelas mendengar namanya. Beberapa penonton yang di dekat dan kutanya tentang pemain itu, jawabnya hanya, “Katanya dia pemain nasional dulu.” Wasitnya sudah bersiap-siap di tengah lapangan. Kapten PS Oray Weling langsung menemui wasit dan berkata mereka memilih tempat sebelah selatan. Wasitnya mengangguk setuju saja. PS Tunas Muda tidak protes. Mereka yang memegang bola. Setelah posisi kedua kesebelasan siap, wasit pun meniup peluit.
Pertandingan langsung seru. Si mantan pemain nasional berhasil menerima umpan di kotak penalti, tapi bola yang ditendangnya dengan deras itu dengan mudah ditangkap Kang Suta. Bahkan, agar terlihat hebat, Kang Suta pakai bersalto segala menangkap bola itu. Penonton bertepuk tangan. Dielu-elukanya Kang Suta, “Hidup Suta! Hidup Suta!”. Pertandingan pun kembali berjalan seru. Tapi, tampaknya PS Oray Weling betul-betul kewalahan menahan serangan bertubi-tubi yang dilakukan PS Tunas Muda. Apalagi si mantan pemain nasional itu begitu cekatan dan gesit, berkali-kali berhasil menerobos masuk ke dalam kotak penalti. Hanya kehebatan Kang Suta-lah sebagai kiper yang menyebabkan sampai empat puluh lima menit pertama PS Oray Weling tidak kebobolan satu gol pun. Decak kagum penonton terhadap Kang Suta terdengar sepanjang waktu. Bahkan, si mantan pemain nasional itu sering geleng-geleng kepala tidak percaya tendangannya selalu bisa ditangkap Kang Suta. Sekali lagi, ditangkap, bukan ditinju atau ditips, tapi ini benar-benar ditangkap. Bola atas ataupun bola bawah sama saja.
Saat pertandingan istirahat, aku mengajak Damis ke mushola untuk sholat ashar dulu. Engkur tidak mau waktu aku ajak. Katanya, dia sholat di rumah saja nanti. Dia malah berlari ke tengah lapangan seperti anak-anak yang lain, menyempatkan waktu istirahat untuk dipakai bermain-main di tengah lapangan. Beberapa kelompok anak bermain-main bola di tengah lapangan itu. Di luar lapangan tukang jualan dikerubuti penonton. Tukang jualan es yang paling laku. Udara panas menyebabkan banyak orang yang kehausan. Mereka menyerbu beberapa tukang jualan es.
Selesai sholat, aku kembali ke tempat kami tadi duduk. Tapi, rupanya sudah ditempati anak-anak lain. Tadinya hendak aku usir, tapi ternyata anak-anak itu didampingi bapak-bapaknya. Aku jadi tidak berani, terpaksa aku mencari tempat yang lain. Waktu istirahatnya hanya lima belas menit. Wasit sudah masuk lapangan. Tak lama kemudian pemain kedua kesebelasan masuk lapangan juga. Sekarang berpindah tempat. PS Oray Weling di sebelah utara.
Dengan berbisik aku berkata pada Damis, “ Kalau bukan Kang Suta, kita sudah pasti kemasukan lebih dari lima gol tadi. Syukurlah Kang Suta main.”
“Jangan lupa, Ki Ijot memilihkan tempat yang tepat. Untunglah Ki Ijot tidak salah hitung. Kalau salah, sehebat apa pun Kang Suta pasti sudah kebobolan.” Damis menjelaskan Ki Ijot.
“Tapi, meskipun Ki Ijot memilih tempat yang tepat, tapi kalau bukan sebab kehebatan Kang Suta, tentu sudah kalah,” sergahku.
“Pokoknya kedua-duanya.” Simpul Damis tak mau lagi berdebat denganku saat kami dengar wasit sudah meniupkan peluitnya.
Pertandingan babak kedua sudah dimulai. PS Tunas Muda langsung menggebrak. Beberapa pemain mereka diganti dengan pemain yang lebih segar. Tidak ada pergantian pemain di PS Oray Weling, sebab tidak ada lagi pemainnya. Serangan PS Tunas Muda dari sayap kanan. Pemainnya sayap melewati pemain belakang PS Oray Weling, lalu mengumpan bola ke tengah di mana si pemain nasional menunggunya. Bola itu ditanduknya tepat ke arah gawang, tapi lagi-lagi Kang Suta berada pada posisi yang tepat. Bola itu pun berhasil ditangkapnya, lalu dipeluknya seperti memeluk seorang kekasih setelah lama tak bertemu.
Penonton pun bersorak. “Hidup Suta!” teriakan keras terdengar dari pinggir lapangan. “Hebat Suta. Padahal itu sebuah sundulan keras yang dilakukan mantan pemain nasional.” Begitu sebuah suara terdengar di belakang. Seorang bapak yang mengucapkannya.
Pertandingan berjalan lagi. Tapi, selalu saja pemain-pemain PS Tunas Muda berhasil mengambil bola yang dibawa pemain PS Oray Weling. Bahkan, lama-kelamaan PS Oray Weling benar-benar tidak mampu membangun sebuah serangan pun. Mereka terkurung di setengah lapangan, mereka hanya mampu bertahan. Dan atraksi yang sesungguhnya adalah atraksi kehebatan Kang Suta menyelamatkan gawangnya. Tampak sekali si mantan pemain nasional sudah frustasi tak mampu menjebol gawang Kang Suta. Meskipun secara pertandingan menjadi tidak menarik sebab hanya PS Tunas Jaya yang menyerang, tapi secara individual inilah atraksi kehebatan Kang Suta, atraksi yang sangat menarik.
“Hidup Suta!” kebanggaan.
“Hebat Suta!” pujian.
“Suta, edaaaaan!” sebuah kekaguman daripada cercaan.
“Sutaaaaaaaaaa!” kebingungan.
Tampaknya pertandingan akan berakhir seri 0-0 saat pertandingan tinggal lima menit. Bola ditendang Kang Suta jauh melewati garis tengah lapangan. Disundul pemain PS Tunas Muda dan keluar lapangan. Kang Suta terlihat berjongkok, kecapaian, istirahat sebentar mumpung bola jauh di pertahanan lawan. Lemparan ke dalam untuk PS Oray Weling. Seorang pemain melempar bola kepada temannya yang langsung menendang tak terarah hingga keluar. Tendangan gawang buat PS Tunas Muda. Dengan sekuat tenaga, kiper PS Tunas Muda itu menendang bola tersebut. Bola melesat jatuh di kotak penalti, lalu menggelinding perlahan-lahan ke arah gawang. Kang Suta yang sedang berjongkok tidak bergerak. Diam. Diam saja. Membiarkan bola itu menggelinding masuk gawang. Gooool! Pemain PS Tunas Jaya kegirangan. Tapi, pemain PS Oray Weling dan penonton kebingungan. Wasit meniup peluit mengesahkan gol itu. Tapi, Kang Suta diam saja, tidak bergerak, lalu dia tersungkut ke tanah, kejang-kejang, mengerang, dan mulutnya berbusa. Sadarlah semuanya, penyakit ayan Kang Suta kumat.
Beberapa penonton dan pemain segera menolong Kang Suta. Untungnya itu menit terakhir pertandingan. Wasit pun meniup panjang tanda pertandingan usai. Kang Suta digotong beberapa orang di bawa ke mantri terdekat dari situ. Bubarlah penonton dari lapangan itu. Semua kecewa tapi tidak sedikit yang begitu kagum atas penampilan cemerlang Kang Suta. Namun, semua memaklumi kondisinya. Semua penonton bangga, PS Oray Weling hanya kalah 0-1 dari PS Tunas Muda.
Aku baru menyadari kebenaran mitos Kang Suta, “Tak pernah ada bola yang bisa melewati gawangnya, kalau Suta tidak membiarkannya masuk.” Ternyata Kang Suta tidak secara sadar membiarkan bola itu melewati gawangnya. Penyakit ayan yang sering tiba-tiba menyerangnya seperti pada pertandingan tadi membuatnya tak berdaya menghalau bola yang menggelinding sepelan apapun. Mitos itu begitu lekat dalam ingatan penduduk kampungku bertahun-tahun kemudian. “Seandainya Suta tidak punya penyakit ayan, tentu dia sudah menjadi kiper nasional PSSI.” Begitu kata-kata yang diucapkan orang-orang tua atau anak-anak muda tentang Kang Suta dengan nada bangga sekaligus kekecewaan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Beda Inti kalimat dan Kalimat Inti

pemakaian titik dua (:)

Soal SNMPTN 2008: Kode 101