Itu memang namaku!

(1)
Aku sedang menatap sebuah potret. Potret ayahku. Di potret itu ayah sedang duduk di sebuah kursi pengantin. Ayah memakai jas, tanpa dasi, seperti yang biasa dilakukan laki-laki di kampungku saat sedang menikah. Yang luar biasa dari potret itu adalah tampak ayah seolah-olah sedang memeluk seorang wanita. Tangan kanannya melingkar ke belakang kursi pengantin, sedangkan tangan kirinya memegang bunga mawar merah. Tangan yang memegang bunga mawar itu pun seolah sedang menggenggam tangan lainnya yang terlebih dahulu memegang tangkai bunga ros itu. Dalam potret itu terlihat ayah tersenyum sangat bahagia. Senyum seorang laki-laki yang berhasil menikahi gadis pujaan hatinya.
Kata ayah, potret itu adalah potret pernikahannya dengan seorang wanita yang paling dicintainya. Tapi, semua orang di keluargaku juga tahu bahwa pernikahan itu tidak pernah terjadi. Sebab, gadis yang dicintai ayah itu meninggalkan ayah tanpa ayah tahu sebabnya. Sejak itu, kata nenek, ayah sering bertindak aneh-aneh, macam-macamlah polahnya yang kadang mengesalkan semua orang. Pernah ayah membaca puisi di pernikahan tetanggaku. Ayah naik ke atas panggung hiburan, lalu membacakan pusisi karangannya sendiri saat biduanita orkes dangdut di panggung itu sedang bernyanyi. Bisa dibayangkan bagaimana keributan yang terjadi di atas panggung itu. Bahkan, ayah pernah diarak diiringi rebana dan naik kuda. Kudanya dua ekor, tentu saja ayah cuma menaiki seekor kuda sedangkan yang ekor kuda lagi konon kata ayah kepada semua orang yang ada di situ, “Kuda itu dinaiki calon istriku.”
Pamanku lain lagi pendapatnya tentang ayah. “Ayahmu itu orang terpintar di keluarga kita. Kalau dia berlaku sinting wajarlah, sebab banyak orang pintar bertindak aneh-aneh malahan cenderung seperti orang gila. Ayahmu tidak gila, semua orang di sini tahu itu. Ia hanya berperilaku seperti orang gila. Semua gara-gara cinta. Sepele ‘kan? Bersyukurlah aku yang tidak percaya pada cinta.” Demikian kata Paman. Pamanku konon banyak istrinya. Hebatnya semua istrinya dinikahi setelah pertemuan pertama. Pokoknya, kata bibiku, pamanku menikahi istrinya-istrinya kurang dari 1 x 24 jam dari pertemuan pertama. Hebat, bukan? Tak ada yang tahu berapa jumlah istri Pamanku itu sebenarnya. Hanya nenekku yang tahu. Aku pernah tanya nenek, sambil berbisik nenek memberitahuku, istri pamanku sembilan orang!
Setiap tanggal 9 April di setiap tahun, ayah selalu merayakan pesta ulang tahun. Padahal, ayahku lahir bulan Juli. Pada tanggal 9 April itu ayah akan memesan kue ulang tahun yang besar. Kue itu akan diletakkannya di meja di kamarnya. Sejak kue itu di bawa masuk ke dalam kamar, ayah tidak keluar-keluar. Nanti dari dalam kamar itu terdengar ayah berbicara. Berbicara sendiri. Kemudian terdengar ayah menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Lalu, terdengar ayah mengucapkan selamat entah kepada siapa. Setelah itu, akan terdengar ayah menangis, dari menangis pelan-pelan sampai meraung-raung, kemudian sesegukkan. Hari itu hari ulang tahun gadis yang sangat dicintai oleh ayah.
Aku tak pernah diberitahu siapa nama gadis yang sangat dicintai ayah itu. Beberapa teman ayah hanya bisa menyebutkan asal gadis itu, sekolahnya, dan di mana ayah bertemu dengan gadis itu. Sedangkan namanya, tak seorang pun mau memberitahuku. Semuanya merahasiakan nama gadis itu. Kata orang-orang yang tahu hubungan ayah dengan gadis itu, gadis itu berdarah Aceh, tinggal bersama ibunya di bilangan utara kota ini. Ia berkulit putih, tidak tinggi, tapi sangat cantik. Ia pernah menjadi pemenang lomba kecantikan di sekolahnya. Gadis itu sebenarnya murid ayahku. Ayahku adalah guru yang jatuh cinta pada muridnya sendiri. Entahlah apakah gadis itu mencintai ayahku atau tidak. Ketika gadis itu menjadi mahasiswi ayahku sering membantu mengerjakan tugas-tugas kuliahnya. Menjemput dan mengantarnya ke kampus hampir tiap hari dilakukan ayahku. Mereka pasangan sejati, begitu kata teman ayahku saat itu. Tapi, semuanya tidak ada yang tahu ketika suatu ketika ayah pulang ke rumah, masuk kamar, lalu menangis di kamarnya selama dua hari. Kakek dan nenekku bingung dengan apa yang terjadi. Mereka tidak tahu kenapa ayahku menangis. Setelah itu pun tak ada yang menanyakan perihal kejadian itu. Hanya mereka tahu, setelah itu ayah tidak pernah terlihat lagi berdua dengan gadisnya. Gadis itu tak pernah terlihat lagi, seperti hilang ditelan bumi. Dan, ayah mulai menunjukkan polah yang aneh-aneh.
“Tooong!” Suara ibuku terdengar memanggilku. Buru-buru potret itu kusembunyikan, aku khawatir ibuku akan marah. Kata ayahku, perempuan pantang melihat saingan. Saingan bagi seorang perempuan akan membunuhnya, sedangkan bagi seorang laki-laki, saingan akan menghidupkannya.
“Iya, Bu.” Sahutku. Bergegas aku keluar kamarku. O, ya, panggilan kesayanganku di rumah adalah Entong.

(2)
Aku dilahirkan sebagai anak laki-laki. Kata Ibuku tadinya aku akan diberi nama MANCHESTER UNITED. Sebab ayah dan ibu adalah fans kesebelasan tersebut. Ayah mengecat lambang kesebelasan itu di tembok samping rumahku. Besar. Genteng rumah kami konon kalau dilihat dari angkasa terlihat bergambar lambang MU. Lain lagi ibuku, semua perabotan rumah tangga jika gambarnya lambang MU pasti dibelinya. Piring, mangkok, gelas, bergambar MU. Seprei, sarung bantal, handuk demikian juga. Di mana-mana MU! Bahkan, waktu aku akan lahir ayah meminta dokter yang akan membantu ibuku lahiran harus fans MU juga!
“Pokoknya, dokternya harus fans MU!” teriak ayah kepada perawat-perawat yang membawa ibuku ke ruang operasi. Ayah sendiri tidak ikut masuk sebab ia paling tidak sanggup melihat darah. Kalau ayah masuk, jangan-jangan dokter akan sibuk juga mengurusi ayah yang pisngsan saat melihat darah.
Soal MU ini sangat penting bagi kedua orang tuaku. Saking pentingnya, ibuku sempat-sempatnya bertanya pada dokter yang sedang siap-siap mengoperasinya. “Apakah dokter fans MU?”
“Betul, Bu,” jawab dokter itu sambil memasang sarung tangannya.
“Dokter kenal Christiano Ronaldo? Berapa nomor punggungnya?”
“Kenal, dong, Bu. Dia penjaga gawang ‘kan? Nomor 10 ‘kan?” Sekenanya dokter itu menjawab pertanyaan ibuku. Dia belum tahu ibuku hapal segala-galanya tentang MU.
Jawaban dokter itu membuat ibuku murka. Ibuku terbelalak dan berteriak. “Dokter bukan fans MU! Saya tidak mau dioperasi oleh dokter. Dokter bukan fans MU!”
Ibuku berontak. Mencoba bangun dari meja operasi. Para perawat dan dokter kaget. Ibuku berlari ke pintu kamar dan mencoba kabur dari kamar operasi. Beberapa perawat langsung memegang tangan ibuku, mencegahnya keluar. Semua yang di dalam kamar operasi membujuk ibuku, dan mencoba menenangkan ibuku. Akhirnya, ibuku tenang setelah direktur rumah sakit itu datang dan menjanjikan mengganti dokter itu. Beberapa saat kemudian, seorang dokter datang dan masuk ruang operasi. Ibuku sangat gembira. Dokter pengganti itu mengenakan kaus bola Manchester United. Ibuku tak bertanya-tanya lagi. Apalagi ketika dokter itu mengeluarkan saputanganya yang ternyata bergambar lambar united: Setan merah memegang tombak!
Dan, akhirnya aku pun lahir! Dimandikan dan diselimuti bendera MU!
Meskipun kedua orangtuaku tergila-gila MU, namun malangnya aku tidak suka sepakbola. Aku lebih suka bulutangkis. Padahal ayah sudah memasukkanku ke sekolah sepakbola di dekat rumahku. Awalnya aku sering berlatih, tetapi ketika diminta jadi penyerang, padahal aku sangat senang menjadi kiper, aku pun keluar dari sekolah sepakbola itu. Sia-sia ayahku membujukku. Bagiku, posisi kiper adalah posisi yang istimewa sebab hanya kiper saja di lapangan yang boleh menggunakan tangan dan kaki.
Ketika musim Thomas Cup dan Uber Cup ketika banyak orang bermain bulutangkis di mana-mana, aku tertegun dengan permainan aneh itu. Aku tak mengerti mengapa begitu asyik orang memukul-mukul bulu angsa itu. Aku pun mencobanya ketika temanku mengajaknya bermain. Ternyata luar biasa asyiknya. Apalagi ketika melihat bulu angsa itu melambung tinggi, lalu aku meloncat melakukan smash, dan lawanku tidak bisa mengembalikan bola itu, terasa melonjak-lonjak jantungku. Senang banget. Yang membuatku sangat menyenangi bulutangkis adalah bahwa olahraga itulah yang membuat negara kita disegani di dunia olahraga. Di olahraga itulah negara kita pernah meraih supremasi tertinggi kejuaraan bulutangkis dunia: Thomas Cup dan Uber Cup. Olahraga itu juga negara kita menghasilkan legenda-legenda yang dikenal dunia. Prestasi yang sangat luar biasa dibandingkan dengan sepakbola kita. Kalau aku boleh berteriak, aku akan berteriak, “Bravo bulutangkis!”
Sebagai anak laki-laki, seperti juga teman-temanku, aku dipanggil Entong. Kalau aku perempuan, aku akan dipanggil Eneng. Demikianlah lumrahnya panggilan buat anak-anak di kampungku. Kata temanku Entong itu artinya ‘laki-laki’, sedangkan Eneng artinya ‘perempuan’. Aku tidak perduli, tapi aku sangat suka dipanggil Entong. Apalagi kalau ibuku yang memanggilku, suaranya yang nyaring tapi lembut itu membuat telingaku serasa dibuai-buai.
“Toooong!” Teriakan Ibuku terdengar.
“Iya, Bu!” jawabku. Aku pun segera berlari menemui ibuku. Pastinya aku tinggalkan permainan bersama teman-temanku meskipun aku sedang menang-menangnya. Aku tak mau ibuku memanggilku sampai kedua kalinya. Kata ustadzku, ciri anak yang soleh, cuma sekali dipanggil orang tuanya, sudah datang menghampirinya.


(3)
Apalah arti sebuah nama, begitu William Shakespeare berkata lewat drama Romeo dan Juliet. Mungkin menganut falsafah Shakespeare itulah, kedua orang tuanya menamai anak ini. Tapi, bagiku, ini sudah keterlaluan. Yang membuatku menganggap keterlaluan mungkin sebab nama anak ini sama persis dengan namaku. Persis dalam penulisannya juga. Itulah juga yang membuatku penasaran dengan nama anak ini. Jadi, meskipun secara kualifikasi anak ini kurang dari kualifikasi lowongan yang tersedia, aku terpaksa memanggil anak ini untuk wawancara. Ya, aku sangat penasaran dengan nama anak ini.
Beberapa pelamar sudah selesai aku wawancarai. Dua orang dari mereka pasti bakal aku terima bekerja di perusahaanku sebab memiliki kualifikasi yang sesuai dengan lowongan yang tersedia. Lebih-lebih mereka masih muda dan antusias sekali saat wawancara. Tapi, perusahaanku masih membutuhkan dua orang karyawan lagi. Aku berharap anak dengan nama aneh itu datang juga. Kata sekretarisku, ia sudah konfirmasi untuk datang wawancara.
Tok! Tok! Tok! Pintu kantorku di ketuk seseorang.
“Silakan,” kataku. Aku perhatikan pintu kantorku terbuka.
Seorang anak muda masuk, ia tersenyum padaku. Dengan menganggukkan kepala, ia menunggu aku mempersilakan duduk.
“Silakan duduk.” Aku yakin inilah anak yang aku tunggu, anak yang namanya sama dengan namaku. Fotonya sudah kulihat beberapa kali sejak lamarannya sampai di mejaku. Rapi sekali ia berpakaian.
“Terima kasih,” katanya. Digesernya kursi yang akan didudukinya.
Aku menatapnya. Tiba-tiba saja aku bingung harus memulai dari mana wawancara ini. Tapi, anak itu santai saja, seperti tak ada beban. Ia malah menatapku sambil tersenyum. Kurang ajar dia, pikirku. Aku mencoba tenang kembali.
“Apa benar…?” Belum selesai aku bertanya, ia sudah menjawab duluan.
“Benar,” jawabnya seperti tahu apa yang akan aku tanyakan. Ia tersenyum. Gila nih anak berani-berani memotong pertanyaanku.
“Mengapa?”
“Itu mesti ditanyakan kepada ayahku.”
“Memangnya Saudara tidak penah menanyakannya?”
“Tidak. Saya takut ibuku marah.”
“Kalau di rumah, nama panggilan Saudara siapa?” Aku mencoba mencari tahu lebih banyak.
“Entong.” Jawabnya. Lagi-lagi ia tersenyum.
“Kok, Entong?” tanyaku heran.
“Sebab saya laki-laki.” Cepat jawabannya.
“Tahukah Saudara, nama lengkap Saudara sama dengan nama saya.”
“Itu mungkin hanya kebetulan saja.”
“OK. Kalau begitu, kita bicarakan yang lain. Mengapa Saudara merasa pantas bekerja di perusahaan ini?” Demikianlah kataku memulai wawancara lebih fokus pada minat dan kompetensi anak itu.
Aku mewawancarainya cukup lama. Hampir satu jam. Anak itu ternyata luar biasa. Selain sebagai sarjana lulusan universitas paling top negeri ini, anak itu juga mengusai komputer dan bahasa Inggrisnya sangat bagus. Di surat lamaran, memang ia tidak melampirkan sertifikat bahasa Inggris dan komputer sebab ia memang tidak ikut kursus keduanya. Ia mampu berbahsa Inggris sebab di rumahnya ayahnya selalu bercakap-cakap dengan bahasa Inggris. Kata ayahnya, ia harus bersiap-siap bisa berbahasa Inggris sebab siapa tahu ia bisa main sepak bola di Inggris dan bermain untuk kesebelasan Manchester United. Keahlian komputernya diperoleh dari hobinya membaca buku-buku komputer dan keberaniannya mengutak-ngatik komputer PC di rumahnya. Aku pikir aku akan menerima anak itu sebagai salah satu karyawanku.
“Maaf, siapa nama ayahmu?” tanyaku saat anak itu akan keluar kantorku setelah wawancara kami selesai.
“Kamil. Kamilul Insan.” jawabnya setelah menengok ke arahku.
Tiba-tiba saja kepalaku pusing. Dunia terasa gelap. Degup jantungku terasa kencang. Nama itu mengingatkanku pada masa mudaku. Pada seseorang saat aku SMA dan aku kuliah. Pada seseorang yang kutinggalkan tanpa alasan yang jelas. “Ah, ternyata aku bertemu dengan anakmu. Dan, ternyata kau begitu mencintaiku, mengenangku dengan caramu yang luar biasa. Begitu istimewanya diriku bagimu, hingga anak laki-lakimu kau beri nama sesuai dengan namaku: IRNA SURAYYA.”

Kalibata, 31 Oktober 2008

Komentar

  1. sampurasun....kang punya blog kok kaga d publikasikan seh??? undang2 wartawan infotainment nape?liht blog q bipnfmania.blogspot.com tararenkyu

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Beda Inti kalimat dan Kalimat Inti

pemakaian titik dua (:)

Soal SNMPTN 2008: Kode 101