Pulang Kampung

(1)
Rumah itu mewah dan megah. Berada di satu kompleks perumahan elite di ibukota. Harga rumah-rumah di situ em-eman. Sebuah simbol prestise tinggi bagi penghuninya dengan tinggal di situ. Jumlah rumah di kompleks itu hanya lima buah. Konon pemilik-pemiliknya ada menteri, direktur utama dari BUMN yang produknya merupakan hajat hidup orang banyak, konglomerat yang perusahaannya banyak yang sudah go public, seorang jenderal, dan anggota DPR yang sudah tiga periode terpilih duduk menjadi wakil rakyat di Senayan sana. Jadi, yang tinggal di sana bukan orang sembarangan. Mereka adalah sebagian tokoh nasional negeri ini yang sering muncul di media massa menanggapi atau memberikan komentar terhadap sebuah kebijakan pemerintah. Di tangan mereka mungkin nasib-nasib kita ditentukan. Namun, yang tidur dan merawat rumah-rumah di sana setiap harinya adalah pembantu-pembantu mereka yang jumlahnya lebih dari tiga orang, sedangkan pemilik rumahnya sendiri entah di mana mereka tinggal setiap harinya. Sebab kata pembantu-pembantunya, rumah tuannya bukan cuma satu, tetapi ada beberapa bahkan ada yang di luar negeri segala. Tentu saja, semuanya di perumahan elite.
Malam itu rumah di Blok A No. 1 sedang ada pemiliknya. Malahan, sedang kedatangan tamu. Tuan rumah menerima tamunya itu di ruang keluarga. Rupanya tuan rumah dan tamunya itu adalah kakak-beradik. Terlihat sekali mereka jarang bertemu. Dan, tampak ada kekakuan antara kakak-beradik itu, mungkin si adik yang merasa hanya orang biasa saja harus berbicara dengan kakaknya yang sudah menjadi tokoh nasional.
“Apa kabar Ibu di kampung?” tanya kakaknya yang pemilik rumah itu.
“Baik, Kak. Ibu titip salam buat kakak. Ibu juga menanyakan kapan kakak ada waktu untuk pulang ke kampung. Semua keluarga kangen pada kakak,”jawab adiknya.
“Sebenarnya lebaran kemarin aku berniat untuk pulang. Aku juga kangen pada Ibu. Cuma kesibukanku tak berkurang sehingga aku batalkan pulang kampung. Mungkin bulan ini aku bisa pulang kampung. Aku akan cari waktu,” kata kakaknya.
“Betul, Kak? Kakak akan pulang bulan ini? Aku akan kabari Ibu agar beliau gembira mendengarnya,” kata adiknya setengah berteriak kegirangan.
“Ya. Mungkin tanggal 20,” pelan jawabnya, “bagaimana kabar istri dan anakmu? Mengapa mereka tidak diajak ke sini?”
“Sehat-sehat, Kak. Tadinya mau saya ajak, tetapi saya tidak yakin kakak ada di rumah sini. Jadinya mereka tidak saya ajak, sebab saya sebenarnya cuma iseng-iseng ke sini. Tapi, kok, kebetulan kakak ada di sini,” kata adiknya.
“Mengapa kamu tidak telepon atau sms aku dulu?” tanya kakaknya.
“Sudah, Kak. Tapi, nadanya sibuk terus, dan SMS yang saya kirim pending terus,” jawab adiknya.
“Istrimu ke mana, Kak? Dari tadi tidak terlihat,” adiknya bertanya.
“Mbakmu sedang ke Australia, melihat anak-anak yang sekolah di sana,” jawab kakaknya, “mereka harus mendapat pendidikan baik. Kamu tahu sendiri sekolah-sekolah di negara kita kurang bagus mutunya. Makanya, aku kirim anak-anakku ke luar negeri. Anakmu sekarang kelas berapa? Sekolah di mana?”
“Kelas dua SD, Kak. Anakku bersekolah di SD Inpres tempat kita dulu bersekolah, Kak,” kata adiknya.
“Jadi, sekolah kita itu masih berdiri?”
“Masih, Kak. Meskipun kondisinya sudah tidak layak lagi sebagai tempat belajar. Namun, bagi orang-orang sana sekolah itu menjadi kebanggaan sebab sudah bisa menghasilkan orang-orang besar seperti kakak,” terang adiknya dengan nada tulus.
“Ha-ha-ha!” kakaknya tertawa mendengar keterangan adiknya apalagi namanya disebut-sebut sebagai orang besar segala.
“Kakak masih ingat Pak Nata?” tanya adiknya.
“Pak Nata? Yang mana, ya?” kakaknya balik bertanya
“Yang mengajar kelas enam, Kak,” jawab adiknya.
“Ya, ya, aku ingat. Pak Nata Atmadja, yang sering mendongeng ‘kan?” katanya.
“ Iya, Kak. Beliau sudah pensiun sekitar lima tahun lalu. Setiap tahun anak-anak yang baru naik ke kelas enam selalu diceritakan tentang kakak. Bagaimana pintarnya kakak, gigihnya kakak bersekolah, sampai keberhasilan kakak menjadi tokoh nasional di negeri ini,” jelas adiknya.
“Wah, begitu istimewa aku di mata mereka,ya” imbuh kakaknya.
“Benar, Kak. Jadi kakak akan pulang bulan ini?”
“Ya, aku akan pulang bulan ini. Aku kangen masakan Ibu,” kata kakaknya.
Malam kian larut. Bulan setengah purnama. Rasa lelah yang menyergap mereka membuat mereka menutup perbincangan, lalu pergi ke kamar tidur masing-masing. Tapi, mereka tidak bisa tidur rupanya. Adiknya sangat gembira mendengar kakaknya akan pulang, ingin segera ia pulang ke kampungnya dan akan dikabarinya ibunya tentang rencana kakaknya untuk pulang. Tidak bisa dibayangkan bagaimana akan gembiranya ibunya. Terbayang ibu akan memasak besar-besaran seperti akan pesta. Wah, pasti pepes ikan mas kegemaran kakaknya akan terhidang di meja makan mereka kembali setelah sekian tahun tak pernah dihidangkan di rumahnya.
Demikian juga kakaknya di kamarnya tidak bisa memejamkan matanya. Tak sekejap pun ia bisa tertidur. Bayang-bayang masa kecil di kampungnya tiba-tiba terlihat di depannya. Ia dan adiknya sudah ditinggal ayah mereka ketika mereka masih kecil-kecil. Ayahnya meninggal sebab penyakit asmanya yang tak kunjung sembuh itu kumat ketika musim pancaroba. Sebagai buruh tani, ayah tidak meninggal kekayaan untuk anak dan istrinya. Setelah ayahnya meninggal, ibunya yang mencari nafkah untuk menghidupi mereka. Ibunya berjualan kue-kue basah yang dibuatnya sendiri. Awalnya ibunya juga yang menjajakan kue-kue itu keliling kampung. Tetapi, ketika ia sudah mulai besar dan sudah bisa menghitung uang, ia yang menjajakan kue-kue itu. Ia pergi menjajakan kue keliling kampung seusai salat subuh sampai sekitar setengah tujuh. Ia akan bergegas menyiapkan buku-buku untuk sekolah. Sekolahnya mulai pukul tujuh. Ketika adiknya sudah besar, yang menjajakan kue keliling kampung sekarang berdua. Ia akan berangkat ke arah timur, sedangkan adiknya ke arah barat. Di sekolah ia dianggap anak paling pintar. Nilai-nilainya sangat bagus-bagus jauh meninggalkan siswa lainnya. Tak heran dirinyalah satu-satunya siswa dari SD itu yang bisa diterima di SMP negeri di kota kecamatan. Kepintaran dan kerajinannya mengantarnya untuk menerima beasiswa di SMP. Demikian juga, ketika ia SMA, juara umum sekolah selalu diraihnya. Semua guru membanggakannya. Yang luar biasa adalah ketika ia juga satu-satu siswa SMA itu yang diterima di sebuah perguruan tinggi negeri ternama di negeri ini. Dirinyalah alumni SMA itu yang pertama kali bisa tembus masuk PTN itu.

(2)
[Tanggal dua puluh bulan ini.]
Kampung itu ramai tidak seperti biasanya. Konon kampung itu akan kedatangan tokoh nasional yang asli kelahiran kampung itu. Sebenarnya tokoh nasional itu pulang untuk menemui ibunya yang sudah tua yang begitu merindukannya. Tapi, Pak Lurah dan Pak Camat merasa perlu menyiapkan penyambutan kedatangan tokoh nasional itu. Maklum, jarang-jarang ada tokoh nasional yang mau mendatangi daerah mereka. Apalagi yang datang adalah tokoh nasional yang lahir di daerah itu. Tokoh nasional itu menjadi kebanggaan penduduk mereka. Jika tokoh nasional itu muncul di televisi, penduduk ribut membicarakannya, memuji-mujinya. Kadang terdengar juga selentingan, beberapa tokoh di situ akan mengusung tokoh nasional itu menjadi calon presiden.
Umbul-umbul sudah dipasang sejak beberapa hari yang lalu ketika adik sang tokoh nasional itu pulang dari Jakarta. Si adik mengabarkan kepada ibunya bahwa kakaknya itu akan pulang tanggal dua puluh bulan ini. Si ibu yang aktif di majelis taklim bercerita kepada teman-temannya bahwa anaknya yang menjadi tokoh nasional akan pulang. Ibu-ibu majelis taklim menyampaikan kabar itu kepada suami-suami mereka sehingga kabar itu terus menyebar ke seluruh penduduk. Ketika kabar itu sampai ke telinga Pak Lurah, Pak Lurah pun secara khusus menemui adiknya.
“Pak Aman, benarkah Bapak akan pulang?” tanya Pak Lurah kepada adik tokoh nasional itu. Kata “Bapak” yang dimaksud oleh Pak Lurah adalah kakaknya Pak Aman, tokoh nasional itu. Keluarga itu disegani dan dihormati semua orang di sana. Para pejabat desa dan kecamatan sering datang ke rumah itu meskipun sekadar basa-basi dengan ibu dan adik tokoh nasional itu.
“Benar, Pak Lurah. Waktu saya bertemu dengan beliau di Jakarta, beliau berjanji akan pulang tanggal dua puluh bulan ini, Pak,” jawab Pak Aman.
“Tanggal dua puluh bulan ini, Pak?” Pak Lurah mencoba untuk konfirmasi lagi.
“Benar. Katanya beliau sudah kangen dengan masakan ibu kami, Pak”
“Kalau benar begitu, bagaimana kalau kelurahan akan mengadakan penyambutan kedatangan beliau, Pak Aman.”
“Tidak perlu, Pak.”
“Tapi, ini penting, Pak Aman. Beliau telah menjadi kebanggaan kami di sini. Jadi rasanya kurang enak jika kedatangan beliau tidak disambut. Biarlah kelurahan yang akan menanggung biaya penyambutan beliau, Pak.
“ Kalau begitu terserah Pak Lurah saja. Tapi, menurutku, kakakku akan senang-senang saja sekalipun kita tidak mengadakan penyambutan.”
Begitulah akhirnya Pak Lurah merasa perlu mengadakan penyambutan. Bahkan, ketika Pak Lurah melapor kepada Pak Camat, Pak Camat pun mendukung inisiatif Pak Lurah itu.
Atas inisiatif Pak Camat, di perempatan jalan raya yang menuju kampung itu di pasang baliho besar bergambar foto tokoh nasional itu. Ada kata-katanya juga, tetapi hampir semua orang tidak mengerti maksud kata-kata itu sebab kata-kata itu adalah kata-kata bahasa Inggris.
Rumah ibu tokoh nasional itu sudah ramai sejak pagi. Seperti mau hajatan, pekarangan itu dipasangi tenda. Kursi-kursi dibariskan, dan di deretan paling depan kursi-kursi ukiran yang bagus-bagus disipakan untuk para pejebat desa dan kecamatan. Juga disiapkan podium kecil sebab rencananya Pak Lurah dan Pak Camat akan memberikan sepatah dua patah kata dan sambutan. Tidak ketinggalan juga hidangan prasmanan, rencananya sudah selesai pidato-pidato akan dilanjutkan dengan ramah-tamah sambil menikmati makanan yang bagi sebagian besar penduduk kampung itu mungkin setahun sekali dapat menikmatinya.
Jam di dinding rumah itu berdentang sepuluh kali. Jam itu memang setiap satu jam akan berdentang, dengan jumlah dentangan sesuai waktu saat itu. Rumah itu sudah ramai. Pak Lurah sudah datang. Tokoh-tokoh kampung dan para sesepuh juga sudah datang. Dari radio tape diputar lagu-lagu gamelan. Ibu dan adik tokoh nasional sudah duduk di kursi yang disediakan. Setiap orang yang datang akan menyalami mereka berdua, mengucapkan selamat. Tapi, semuanya juga bingung mengucapkan selamat apa kepada mereka. Ya, daripada bingung mengucapkan selamat apa, semuanya hanya mengatakan, “Selamat!” sambil menyalami keduanya.
Jam sebelas Pak Camat datang diiringi beberapa stafnya. Pak Lurah langsung menyambutnya, menyalaminya, lalu diajaknya Pak Camat menemui ibu dan adik tokoh nasional.
Dengan senyum yang terkembang, Pak Camat menyalami ibu dan adik tokoh nasional itu. “Ibu, apa kabar? Mudah-mudahan ibu selalu sehat, ya, Bu. Pak Aman, bagaimana, Pak, persiapan ini? Cukup memuaskan Bapak?”
Ibu tokoh nasional tersenyum. “Mudah-mudahan, Pak Camat, cepat naik pangkat. Bisa jadi bupati, gubernur!”
“Amiin, Bu,” kata Pak Camat.
“Terima kasih, Pak Camat. Berkat Bapak, semua keperluan penyambutan ini jadi luar biasa. Kalau tidak ada Pak Camat, mungkin kami hanya bisa menyajikan kopi dan kue kecil uat kakakku itu.” Demikian kata Pak Aman. Hatinya sebenarnya sangat gelisah khawatir kakaknya tidak jadi datang. Ia takut semua orang menjadi kecewa sebab kakaknya tidak jadi datang.
Lalu, Pak Camat dan Pak Lurah duduk di kursi paling depan, kursi yang diukir. Mereka bercakap-cakap. Pak Camat tampak santai, sedangkan Pak Lurah agak kaku.
Pukul 11.30, sebuah mobil sedan mewah meluncur di jalan menuju kampung itu. Beberapa kali mobil itu berhenti di persimpangan jalan. Sopirnya turun bertanya arah kepada orang-orang yang bisa ditemui di situ. Tak lama kemudian mobil itu sudah berada di jalan yang mengarah ke rumah ibu tokoh nasional. Beberapa orang yang melihat kedatangan mobil itu berlari-lari cepat ke arah rumah itu. “Sudah datang! Sudah datang!” begitu teriakan orang-orang itu.
Mobil itu berhenti di jalan di depan rumah itu. Serempak orang-orang berdiri. Pak Lurah dan Pak Camat berdiri. Sopir mobil itu keluar. Lalu, melangkah ke pintu belakang mobil, membukakan pintu, kemudian keluarlah seseorang yang memakai jas dan dasi, juga memakai kacamata hitam. Orang itu pun melangkah sambil tersenyum. Orang-orang berebut menyalaminya. Dengan tenang, dilayaninya orang-orang yang menyalaminya itu. Sangat sulit ia melangkah sebab orang-orang mengerebutinya. Tapi, ia tetap tersenyum menyambut dengan senang situasi itu.
Pak Lurah berhadapannya dengannya. Pak Lurah mengulurkan tangannya, mengajak berjabatan tangan.”Selamat datang, Pak.”
Orang itu menjabat tangan Pak Lurah dan berkata, “Terima kasih, Pak.”
Pak Camat pun mengulurkan tangan, mengajak bersalaman. Senyum Pak Camat mengembang. “Selamat datang kembali, Pak. Kami di sini sangat gembira Bapak bisa kembali ke tempat kelahiran Bapak. O, ya, saya camat di sini, Pak.”
“Terima kasih, Pak Camat,” jawab orang itu sambil tersenyum. Seolah mengabaikan Pak camat, ia terus saja melangkah menemui Pak Aman dan ibunya.
Sampai di depan Pak Aman dan ibunya, ia langsung mencium tangan ibu. Ibunya memeluknya, menangis gembira, tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Saking gembiranya, anaknya pulang.
Pak Aman terdiam menyaksikan ibunya menangis dan tampak begitu gembira. Hatinya saja yang gelisah. Tapi, ia hanya mampu terdiam. Setelah ibu itu melepasakan pelukannya, orang itu menemui Pak Aman, memeluk Pak Aman, lalu memberikan semacam surat kepada Pak Aman tanpa ada yang mengetahuinya. Kemudian orang itu bergegas kembali ke mobilnya, lalu mobil sedan mewah itu pun meluncurkan meninggalkan rumah itu, kampung itu, dan orang-orang di sana yang terbengong-bengong tak mengerti kenapa tokoh yang ditunggu-tunggu mereka hanya datang selama sepuluh menit.

(3)
Ketika rumah itu sudah sepi kembali, Pak Aman membaca surat dari kakaknya diam-diam tanpa sepengetahuan ibunya, istrinya, dan anak-anaknya. Surat itu berbunyi, “Maaf, aku tak bisa pulang hari ini. Aku mendadak dipanggil Presiden ke Istana Negara pukul sepuluh pagi ini. Jangan beri tahu siapa pun bahwa yang datang sebenarnya bukan aku, tetapi staf khususku.”
[Mobil Pak Camat mogok di peremapatan jalan. Ketika stafnya mencoba mengutak-ngatik mesin mobil itu, Pak Camat melihat baliho yang seminggu lalu dipasangnya untuk menyambut tokoh nasional. “Aneh, kok, orangnya lebih ganteng dan muda dibanding difotonya,” pikir Pak Camat saat mengamati foto tokoh nasional yang ada pada baliho itu.]



Kampung Jembatan, 24 Oktober 2008

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Beda Inti kalimat dan Kalimat Inti

pemakaian titik dua (:)

Soal SNMPTN 2008: Kode 101