KISAH PAK TANI KITA

I

Anda pernah ke Kabupaten Karawang, Jawa Barat? Tentu banyak yang pernah ke sana meskipun sekadar lewat. Jika suatu saat melewati kota Karawang, cobalah berhenti sejenak di jalan yang dekat persawahan. Pandanglah ke arah mana pun, Anda akan melihat hamparan sawah yang luas. Akan sangat indah, jika saat itu padi sedang menguning keemasan dan sepoian angin menggoyangkan batang-batang padi. Semuanya akan terlihat seperti “lambaian mas” yang mengundang orang untuk meraihnya. Namun, jangankan orang lain, ternyata Pak Tani yang ada di Karawang pun umumnya tidak mampu meraih “lambaian mas” itu. Mereka tetap miskin, hanya mampu menikmati “kemakmuran” saat panen. Pascapanen dan paceklik tiba, mereka pun kembali menjalani rutinitas kemiskinan dengan “sabar”.

“Apa hebatnya petani kita?” tanya temanku saat kami berjalan di atas pematang sawah. Beberapa burung kecil berterbangan waktu kami melewatinya. “Coba lihat Thailand! Semua produk pertaniannya berkualitas. Besar-besar. Mengalahkan produk pertanian kita. Padahal, dulu tahun 70—80-an mahasiswa-mahasiswa Thailand belajar pertanian di IPB, lalu pulang ke sana membawa bibit-bibit dari kita. Hebatnya mereka berhasil mengembangkan bibit-bibit itu menjadi lebih berkualitas dibanding asalnya di sini,” imbuhnya.

“Mau tahu hebatnya petani kita?” kataku, “hebatnya adalah petani kita mampu bertahan hidup dan berproduksi sekalipun dihimpit kemiskinan.”

“Maksudmu?” tanya temanku heran. Seekor sawah lari ketakutan, saat mendengar langkah kami yang keras dan berat menghentak tanah, menggetarkan air sawah yang jernih mengalir.

“Untuk menanam padi, banyak di antara mereka meminjam uang, biasanya kepada rentenir. Perjanjiannya panen dilunasi. Ketika panen tiba, mereka akan menjual gabah mereka dalam kondisi yang kurang bagus, kadar airnya tinggi, sebab mereka membutuhkan uang secepatnya untuk hidup. Tentu saja, harga gabah mereka murah. Bayar deh utang-utang mereka. Sisanya tentunya tidak seberapa. Paceklik tiba mereka sudah tidak punya uang lagi. Pinjam lagi. Dan, seterusnya seperti lingkaran setan,” jelasku cukup lebar.

Kami tiba di dekat irigasi. Beberapa anak mandi dan riang berenang di situ. Mereka begitu gembira, tertawanya riang, senyumnya tulus, mungkin itu sumber kekuatan bagi Pak Tani, bapak-bapak mereka.

II

“Pak Ustadz, mengapa Rasulullah saw. menyuruh kita menuntut ilmu walau harus sampai ke negeri China?” tanya Pak Mamat dalam suatu pengajian kepada Pak Ustadz.

“Begini, Pak Mamat,” jawab Pak Ustadz sambil membenarkan letak duduknya. “Rasulullah saw. sebagai manusia agung sangat paham kondisi negeri-negeri pada masa beliau. Sebagai seorang pedagang yang pernah berkeliling ke negeri lain, beliau tentu pernah mendengar dari sesama pedagang tentang negeri-negeri yang pada masanya mencapai puncak keemasan. Salah satu negeri yang pernah memiliki masa keemasan adalah negeri China. Keberhasilan China memperoleh masa kejayaan, tentu melalui proses panjang. China, misalnya, sejak dulu dikenal memiliki tradisi pengobatan yang luar biasa. Kertas sebagai salah satu alat penting dalam pendidikan ditemukan pertama kali oleh bangsa China. Jadi, Rasulullah saw. sudah mengetahui bahwa di China sudah terjadi perkembangan pengetahuan. Karena itu, beliau menyarankan untuk menuntut ilmu walau harus sampai ke negeri China.”

“Jadi, intinya bagaimana, Pak Ustadz?” tanya seorang jamaah yang duduk di belakang, tetapi sangat antusias mengikuti pengajian itu.

“Pertama, kita harus belajar terus-menerus, tidak boleh berhenti sebelum masuk ke liang lahat. Kedua, kita harus bisa mencontoh negeri atau bangsa yang sudah maju dalam ilmu pengetahuannya. Ingat, dulu orang Singapura belajar kedokteran di Fakultas Kedokteran UI, sekarang mereka lebih hebat dari gurunya. Orang-orang kita berobat ke sana,” jawab Pak ustadz.

“Kalau begitu, sebagai seorang petani, kita juga harus belajar ke negara lain yang sudah maju pertaniannya, ya, Pak ustadz?” sambung Pak Mamat.

“Betul, Pak Mamat. Siapa tahu kalau kita terus belajar, mengembangkan teknologi pertanian, bisa-bisa kita menemukan bibit padi yang dapat menghasilkankan butir padi seukuran kepalan tangan kita. ‘Kan luar biasa kalau begitu,” timpal Pak Ustadz.

Komentar

  1. Indonesia memiliki potensi menjadi negara adidaya.
    Hanya saja sekarang ini kita sedang dalam masa seperti Prancis & Amerika beberapa tahun pasca revolusi.
    Jadi, just do the best, wait, and see....

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Beda Inti kalimat dan Kalimat Inti

pemakaian titik dua (:)

Soal SNMPTN 2008: Kode 101